Menjadi sebuah mitos yang melegenda penuh dengan sejarah dikalangan suku Toraja yaitu Mayat Berjalan. Menyaksikan sebuah mitos tentang mayat berjalan sudah pernah dialami oleh nenek moyang kami pada zaman dahulu kala. Ini adalah sebuah tradisi yang merupakan bagian dari adat-istiadat suku Toraja.
Pernahkah terlintas dibenak kita bahwa di Indonesia ada sebuah suku yang mempenyai tradisi mayat berjalan?
Mungkin tidak, tetapi menjadi penting bagi kita, bahwa sebuah kebanggaan besar yang cukup begitu membuktikan dan meyakinkan Negara-negara lain bahwa memang Indonesia kaya akan budaya adat istiadat.
Sebagai orang toraja asli saya begitu tertarik untuk mempublikasikan tentang budaya mayat berjalan ini. Mengapa? Tidak ada pernah terdengar bahwa ada suku di Indonesia apalagi di dunia yang mempunyai budaya mayat berjalan. Hanya satu-satunya suku yang mempunyai tradisi ini yaitu SUKU TORAJA.
Pengalaman saya, ketika saya lagi makan malam di sebuah warteg, ada seorang bapak yang bertanya kepada saya bahwa benarkah di toraja ada mayat berjalan? Tentu saja saya jawab Ia, karena saya orang toraja asli dan mengetahui sebagian dari adat budaya toraja meskipun tidak semua.
Berikut inilah saya akan menceritakan bagaimana MAYAT BERJALAN YANG ADA DI TANA TORAJA.
Berdasarkan crita yang berkembang di masyarakat Toraja bahwa dahulu kala, tahun 1905 telah ditemukan di gua sebuah mayat manusia yang utuh yang tidak busuk sampai sekarang. Mayat ini tidak dibalsem dan tidak diberi ramuan apa pun seperti yang dilakukan orang mesir pada umumnya. Ajaibnya mayat ini masih bisa tetap utuh. Menurut Tampubolon di gua itu terdapat semacam zat yang bisa mengawetkannya. Selain tidak berbau busuk ada juga yang berjalan diatas kedua kakinya bagaikan orang yang tidak kekurangan suatu apa-apa. Kalau mau dicari perbedaannya ada, tetapi juga tidak begitu kentara. Konon menurut Tampubolon disebuah media dia mengatakan bahwa sang mayat berjalan kaku dan agak tersentak-sentak. Dan dalam perjalanan itu ia tidak bisa sendirian, harus ditemani oleh satu orang hidup yang mengawalnya, sampai ketujuan akhir yaitu rumahnya sendiri. Mengapa harus demikian? Karena pada zaman dahulu kala, orang-orang Toraja biasa menjelajahi daerahnya yang bergunung dan berjurang dengan hanya berjalan kaki tanpa mengenal pedati, delman, gerobak, atau yang semacamnya dengan itulah. Didalam perjalanannya itu kemungkinan ada yang sakit dan mati. Karena orang toraja sangat menghormati orang yang telah meninggal maka melalui sebuah cara diperintahkanlah mayat itu untuk berjalan sendiri pulang kerumahnya. Mungkin klu sekarang disebut dengan hipnotis tapi klu zaman dahulu itu menggunakan ilmu gaib (mungkin). Tetapi ada satu pantangan pada acara ini, yaitu selama mayat berjalan tidak boleh ada orang yang menyapa mayat tersebut apalagi disentuh.
Disebuah blog seseorang yang berceritai masih melihat tradisi mayat berjalan ini disekitar tahun 1992 (aku baru lahir dong). Beliau menempuh pendidikan di kelas 3 sd. Dia bercerita seperti ini:
“pada saat itu di desa saya ada seorang bernama Pongbarrak yang ibunya meninggal. seperti adat orang Toraja sang mayat tidak langsung dikuburkan tetapi masih harus melalui prosesi adat penguburan (rambu solo’). saat itu setelah dimandikan mayat sang ibu diletakkan di tempat tidur dalam sebuah kamar khusus sebelum dimasukkan kedalam peti jenasah. pada malam ketiga seluruh keluarga berkumpul untuk membicarakan bagaimana prosesi pemakaman yang akan dilaksanakan nanti. saat itu saya duduk di teras rumah maklum anak-anak jadi suka mondar mandir. namun setelah rapat selesai (sekitar jam 10 malam), tiba-tiba ada kegaduhan dalam rumah dimana beberapa ibu-ibu berteriak -teriak. karena penasaran saya berusaha melongok ke dalam rumah dan astaga sang mayat berjalan keluar dari dalam kamar, kontan saja saya dan teman2 saya berteriak histeris dan berlari menuruni tangga. saya berlari dan mendapatkan ayah saya sambil histeris ketakutan. setelah itu saya langsung dibawa pulang kerumah oleh ayah dan saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Keesokan harinya kejadian tersebut rupanya cukup heboh diperbincangkan oleh warga dan informasi yang saya dengar bahwa Pongbarrak yang melakukan hal tersebut. konon dia iseng aja untuk membuat lelucon pada malam itu.”
Jika dilihat zaman sekarang, setelah tana toraja disentuh oleh agama, kejadian mayat berjalan sudah sangat jarang terjadi. Padahal ini adalah sebuah budaya yang begitu menakjubkan dan dapat dikembangkan sebagai bagian tradisi kita yang dapat kita kembangkan untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Aku sebenarnya begitu rindu melihat tradisi budaya ini, namun pemerintah tidak lagi memperhatikan budaya ini yang bisa dikatakan hampir hilang. Seharusnya pemerintah tana toraja harus mengembangkan budaya ini sebagai asset yang dapat menambah pendapatan daerah kita dan dapat membuat Tana Toraja lebih dikenal di mancanegara sana.
TABE' LAKO KITA MASSOLANASANG, SIMAN LAKO KITA ANGGA MAIRI' TU RAMPO LEMBANGMO TAMA TARAMPAKKU, TU' TUN KOLI KOLI RARA' TAMA TE ULU BA'BA KU,KUKUA TA TIRO TIROMI LAKO, TA BASA BASAMI DUKA . . . KUKUA : TABE', DA' ANTA BANNI MALLOI BA'TANG, DA' ANTA MATU'PU INAYA, SANGADINNA TASORONGAN BANGMI LAKO TO MANGANNA SANGKA, ANTA MASAKKE MAIRI' MADARINDING SOLA NASANG, TUO BATANG DI KALETA,KURRE SUMANGA'.