i love toraja

i love toraja
beginilah cara orang toraja menguburkan peti keliang-liang batu, sungguh merupakan budaya yang begitu unik

Senin, 07 Maret 2011

"massudi lalong" - "lebonna" - "dodeng"


Cerita rakyat yang melegenda dikalangan masyarakat suku Toraja hingga sekarang sangatlah banyak. Tetapi ada satu cerita romantis yang begitu menarik yang menggambarkan bagaimana dua insan yang dirasuk cinta berjanji sehidup semati tetapi dibalik cinta mereka ada seseorang yang tidak menginginkannya.
Ini adalah cerita “batingna lebonna” atau yang dikenal dengan “Dodeng”.
Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita cantik, berkulit putih, hidung mancung, dan berambut panjang yang berasal dari daerah Bau bonggakaradeng. Karena aura Kecantikannya yang begitu kuat, ia dapat meluluhkan hati setiap pria yang melihatnya. Dan suatu ketika ia jatuh cinta dengan seorang pria, yang tampan, pemberani dan sakti. Dialah “massudilalong paerengan”.
Ketika mereka memutuskan untuk menjalin cinta kasih diantara mereka , maka berjanjilah ia untuk sehidup semati dan dikuburkan disatu tempat yang sama.
Seiring dengan berjalannya waktu, hubungan merka semakin mesra saja. Banyak  gadis-gadis yang lain yang cemburu terhadap lebonna karena berhasil merebut hati paerengan dan menjalin kasih dengannya. Gadis mana yang tidak jatuh cinta terhadap seorang pria yang tampan dan pemberani kala itu?
Suatu ketika, terdengarlah kabar bahwa daerah tetangga mereka akan melakukan penyerangan dan sebagai pemuda yang ksatria dan pemberani paerengan diminta untuk memimpin perang itu. Merekapun akhirnya berangkat ke medan pertempuran.
Sementara itu, di Kampung  lebonna sambil menenun menunggu kekasihnya pulang. Diam-diam seorang anak buah dari paerengan kabur dari medan perang kembali ke kampung untuk menyampaikan kabar bohong kepada lebonna bahwa paerengan telah mati di medan pertempuran dan dengan kemunafikannya, ia berpura-pura sedih. Orang ini melakukan hal demikian dengan maksud dapat merebut lebonna dari paerengan.
Mendengar kabar itu, lebonna begitu sedih dan ia terus mengurung diri dikamar dan tidak mau makan selama beberapa hari.
Usaha anak buah paerengan tidak membuahkan hasil. Lebonna tidak tertarik atas rayuan dan tipuan dia, karena cintanya hanya untuk “massudilalong paerengan”. Tiap malam ia merenung atas janji dan sumpah mereka berdua, akhirnya ia memutuskan untuk mengambil tali dan gantung diri untuk membuktikan cinta sucinya  kepada paerengan. Setelah ia ditemukan tewas, sebelum dikuburkan ia pun diupacarakan melalui proses dialuk (sebuah upacara kematian di tana toraja untuk menghormati orang yang telah meninggal) kemudian dikuburkan disebuah liang batu  didesa Salu Barani, lembang Bua Kayu. Menurut cerita ketika ia telah dikuburkan dan pintu liang (kuburan batu) ditutup rapat, ternyata rambut panjang Lebonna masih terurai keluar sampai bibir Gua. Masyarakat Toraja percaya bahwa lebonna masih belum rela masuk kedal gua atau liang karena ia belum ditemui kekasihnya paerengan yang sudah mengikat janji dengannya untuk sehidup semati.
Setelah paerengan memenangkan pertempuran itu ia pun kembali dengan sukacita yang begitu luar biasa ingin menemui lebonna kekasihnya dan menghadiahkan kabar sukacita ini kepada sang kekasih pujaan hatinya yang sangat ia rindukan.
Tiba-tiba ia mendengar kabar yang sangat menyedihkan baginya, ternyata lebonna telah lebih dulu ke sebuah liang dan menunggunya disana, dengan kata lain ia telah meninggal. Alangkah terpukulnya Paerengan, Lebonna gadis yang sangat ia cintai telah pergi untuk selama-lamanya.
Setelah mengetahui bahwa lebonna telah meninggal dunia, hari-harinya pun tampak berbeda dari biasanya. Ia mulai bersedih,  menyendiri dan tertutup.  Ia sangat dilema, apakah akan mengikuti lebonna ke liang kubur sana ataukah ia harus mempertahankan desanya dari serangan musuh-musuhnya.
Hari-haripun berlalu, Tersebutlah pembantu paerengan yang sangat dekat dengan dia bernama “Dodeng”. Dodeng mempunyai sebuah pohon enau yang dekat dengan liang kubur lebonna. Pada suatu ketika, ia telat untuk mengambil nira/arak/tuak, sehingga ia harus berangkat disaat petang hari. Tiba-tiba, ia mendengar sepertinya ada suara yang terus-terus memanggil dia. Dodeng merasa seakan-akan ia mengenali suara itu, dan ternyata semakin lama ia mendengar suara itu ia kemudian mengetahui bahwa suara itu adalah suara lebonna kekasih paerengan. Menurut kepercayaan suku toraja, orang yang meniggal dengan cara yang tidak layak (bunuh diri) arwahnya tidak akan tenang dan akan gentayangan dimana-mana seperti halnya Lebonna. Apakah tujuan lebonna menyapa dodeng? Tentunya ada suatu pesan ia sampaikan dan ternyata pesan itu ia tujukan kepada kekasihnya “massudilalong paerengan”. Apakah isi dari pesan yang ia sampaikan dan bagaimanakah bunyi dari kalimat yang ia sampaikan tersebut?
Dengan suara jeritan lebonna ia pun menyampaikan pesannya kepada paerengan melalui dodeng yang tersirat dalam sebuah lirik lagu berikut:
Dodeng Mangrambi mang dedek
Dodeng Ma’patuang –tuak

Rampanan pi pededekmu
Anna pi pe pamaru’mu
Ammu perangngi na’ mati’
Ammu tanding talinga na’

Parampoan na’ kadangku
Pepasan mase-maseku
Lako to massudi lalong
Muane sang kalamma’ku

Mukua Duka
La sang mate ki’ e so’e
Paerengan oo rendengku

Angku dolo angku mate
Angku ma’ paliu rannu
Tae’ sia la matena
Lasisarakna’ sunga’na
Kandean bo’bo’ na lebon
Rimbakan pote bolongna

Ulli’-ulli’ sola duka
Borro sito’doan duka
Urriu ponno lalanna
Tarru kandu passuleanna
Sedikit arti dari lirik lagu diatas adalah :
Hei.. Dodeng yang mengambil tuak, hentikanlah dahulu aktivitasmu. Dengarlah pesan deritaku… untuk kekasihku Massudilalong…. Katanya akan sependeritaan… Juga sehidup-semati…. Aku telah duluan mati, dan saya selalu berharap janji kita akan kau tepati. Tapi apa? Itu semua Cuma bohong, ia masih hidup tapi saya telah mati.
Mendengar suara itu, dodeng langsung terpaku dan tak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mengambil sempat mengambil tuak lagi dan langsung lari terbirik-birik kerumah paerengan dan sampai disana ia merasa keringat dingin dan langsung sakit.
Dodeng tidak menyampaikan langsung pesan yang disampaikan lebonna kepada paerengan karena ia masih kurang percaya dengan kejadian tadi. Ia khawatir itu hanyalah sebuah khayalan halusinasi belaka. Dodeng pun kembali mengambil tuak di tempat kemarin dan ia pun pergi lebih awal dan alangkah terkejutnya dia, suara yang ia dengar kemarin ternyata terdengar lagi olehnya padahal hari belum terlalu malam. Mendengar suara itu, ia pun langsung terbirik-birik lari tanpa membawa tuak lagi. Perubahan sikap dodeng membuat paerengan curiga terhadapnya. Paerengan pun mendesaknya dan dodeng pun meceritakan kejadian yang ia alami.
Tak percaya dengan kejadian itu, paerengan pun memutuskan untuk pergi bersama dodeng ke pohon enau yang tak jauh dari kuburan lebonna keesokan harinya.
Setelah dodeng naik keatas pohon enau tersebut, suara lebonna pun terdengar lagi,. Dengan diam-diam dodeng pun mendengar apa yang lebonna katakan. Ia pun langsung pulang dan menutup pintu rapat-rapat dan merenung akan kelalaiannya terhadap janji sehidup semati dengan lebonna., kekasih yang sangat dicintainya.
Tak ingin menunggu lama, ia pun meminta semua pasukannya untuk membawa tombak. Ada maksud dari paerengan mengumpulkan pasukannya dengan membawa tombak? Pastinya ada! Ia pun menyampaikan bahwa ia akan mengadakan acara ritual merok dengan menyembelih kerbau dengan cara ditombak.
Esoknya semua pasukan pun berkumpul di lapangan terbuka. Keluarga dari paerengan pun juga ikut hadir. Saat itu puluhan kerbau telah disediakan dan setiap pasukan membawa tombak masing-masing. Ia pun memerintahkan agar semua pasukan menancapkan tombak dengan posisi mata tombak mengarah keatas. Ketika semua pasukan telah mematuhi apa yang diperintahkan paerengan, ia pun secara diam-diam naik keatas pendopo yang memang sudah ada sebelumnya. Orang-orang yang hadir disitu berpikir bahwa paerengan akan menyampaikan pidato dan ternyata ia melompat tepat diatas ratusan ujung tombak yang telah ditancapkan.
Paerengan pun mati dengan cara yang tragis. Janjinya terhadap lebonna pun telah ditepati. Pada saat paerengan dimakamkan, ia tidak dimakamkan bersama dengan lebonna, ia dimakamkan di tempat lain. Dan akibatnya Secara tiba-tiba jenazah dari paerengan pun selalu muncul lagi dirumahnya. Kejadian ini terjadi sebanyak tiga kali, dan akhirnya dodeng pun memutuskan menceritakan semua kejadian termasuk suara yang didengarnya ketika ia mengambil tuak. Setelah dimakamkan satu liang dengan lebonna, mayat paerengan pun menjadi tenang.
Adakah pelajaran yang bisa kita petik dari cerita diatas?
Tentunya iya, bahwa setiap janji harus kita tepati apapun konsekuensinya. Jangan berjani jika kita tidak mampu menepatinya. Yang kedua, dalam berpacaran janji sehidup semati kadangkala dipermainkan oleh generasi muda sekarang, padahal itu tidak boleh. Katanya”aku berjanji akan sehidup semati denganmu beb. Kemana pun engkau pergi akan selalu aku ikuti.” Setiap perkataan mempunyai arti, maksud dan tujuan. Janganlah gara-gara lidah yang tak bertulang, diri kita terjebak dalam suatu jurang bahaya yang tidak kita inginkan.
Bukankah begitu?

Filosofi Rumah Adat Toraja

Kamis, 25 Juni 2009 | 16:08 WIB
Kompas/Safeii D, Subhan
Tongkonan

KOMPAS.com -Tongkonan di Tanah Toraja mempunyai fungsi sosial, budaya, dan adat yang berbeda-beda. Salah satu fungsinya yaitu sebagai tempat untuk menyimpan jenazah.
SUASANA masih pagi. Ketika kabut perlahan menghilang di sebuah bukit kecil samar-samar mulai nampak atap dari bangunan kecil. Ujung atapnya tampak seperti tanduk kerbau namun tak seruncing aslinya. Atap tersebut bukan lagi terbuat dari alang-alang seperti bangunan aslinya tetapi sudah tergantikan dengan seng. Bangunan dengan atap meruncing itu bernama Baruang Tongkonan atau biasa disebut Tongkonan, rumah adat orang Toraja.
"Tongkon artinya duduk. Kata 'an' bisa dikatakan tempat," kata Andre, salah seorang warga Desa Tondon, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tongkonan adalah tempat orang di desa untuk berkumpul, bermusyawarah, dan menyelesaikan masalah-masalah adat. Tangannya lalu menunjuk ke arah Pegunungan Latimojong,

"Nenek moyang Orang Toraja dari sana, dan gunung. Dulu, Puang Matua menurunkan tetaa-tetaa Toraja."  Puang Matua artinya Sang Pencipta, atau Maha Esa menurut orang Toraja yang menciptakan isi bumi seluruh isinya.
Menghadap Ke Utara Hampir semua rumah orang Toraja menghadap ke arah utara. Hal ini merujuk Puang Matua berada di kepada dunia yaitu arah utara. Menghadap ke arah Puang Matua berarti menghormati clan dipercaya selalu akan mendapat berkah. Ketika penghuni menginjakkan kakinya di luar rumah, maka seluruh hidupnya akan diserahkan kepada Puang Matua.
Tongkonan sendiri bentuknya adalah rumah panggung yang dibangun dari kombinasi batang kayu dan lembaran papan. Kalau diamati, denahnya berbentuk persegi panjang mengikuti bentuk praktis dari material kayu. Tidak ada pelitur atau pernis, semuanya berasal dari kayu uru, sejenis kayu lokal yang berasal dari Sulawesi. Kualltas kayunya cukup baik dan banyak dijumpal dijumpal di daerah Toraja.
Ada tiga bagian dari Tongkonan; kolong (Sulluk Banua), bagan (Kale Banua) dan atap (Ratiang Banua). Dilihat dari tampak samping, pembagian ini nampak jelas darn pola struktur kayunya. Pada kolong nampak ruang kosong dan tertutup pada bagian dindingnya yang sambungannya dari papan dengan ketebalan sekitar 5-7 cm.
Pada bagian atap, bentuknya melengkung mirip tanduk kerbau. Di sisi barat dan timur bangunan terdapat jendela kecil, tempat masuknya sinar matahari dan aliran angin. Tongkonan mempunyai masing-masing kolom yang berkumpu pada batu. Kolom utamanya menjadi penyangga struktur atap di sisi ujungnya.
Tidak ada ketentuan khusus ukuran struktur kayu Tongkonan, semua berdasarkan ketersediaan bahan baku kayu uru di pasaran. Pada Kale Banua yang berfungsi sebagai tempat tinggal, lantainya terdiri dari lembaran papan yang diperkuat dengan struktur lantai panggung.
Pada bagian ini mempunyai beberapa fungsi lain seperti ruang istirahat tamu sekaligus ruang upacara syukuran yang berada di di sisi depan dan sebagai ruang keluarga yang sekaligus digunakan sebagai ruang menempatkan jenazah pada saat upacara pemakaman. Pada sisi belakang bangunan terdapat ruang tidur bagi anggota keluarga.
Membutuhkan Dana Besar
Menurut Andre, membagi struktur Tongkonan itu mudah (maksudnya: merencanakan kolom). Prosesnya tinggal memasang ujungnya. Beri satu kolom di tengahnya lalu dibagi. Pembangunan satu Tongkonan bisa menghabiskan dana sekitar Rp 2-3 milyar.
"Kalau material alangnya saja murah, sekitar Rp 50-60 juta," katanya lagi, sambil menunjuk sebuah rumah panggung yang mirip Tongkonan namun lebih kecil. Fungsi bangunan itu untuk menyimpan hasil panen padi dari sawah keluarga.
Bangsawan Toraja yang memiliki Tongkonan umumnya berbeda dengan Tongkonan dari orang biasanya. Perbedaannya ada di bagian dinding, jendela, dan kolom. Permukaan kayu ketiga elemen tersebut diukir halus dan detail. Motifnya ada yang bergambar ayam, babi, dan kerbau. Selain itu diselang-seling dengan sulur-sulur mirip batang tanaman.
Pada kolom utamanya juga berfungsi sebagai tempat menggantungkan tengkorak kerbau, sebagai tanda keberhasilari mengadakan upacara. Bagi orang Toraja, kerbau selain sebagai hewan temak mereka juga menjadi lambang kemakmuran dan status. Oleh sebab itu, penyembelihan kerbau selalu menjadi acara yang ditunggu dalam sebuah pesta.
Pemakaman Sebagai Hajatan Besar

Hari itu, sekitar akhir bulan Desember 2008, di sebuah Tongkonan di Desa Tondon, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan tampak lalu lalang orang sibuk membawa bahan makanan, alat pertanian, alat memasak, kain, kerbau, babi, bambu, dan kayu. Di depan Tongkonan itu terdapat jalanan yang merupakan jalan penghubung antara kota Rantempao dengan kota Palopo, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Temyata hari itu terdapat upacara pemakaman atau mereka sering menyebut "seorng ada pesta". Seluruh warga desa terlibat dalam upacara ini termasuk seluruh keturunan yang dipestakan dari segenap penjuru. Mereka berkumpul bersama wisatawan yang ingin menyaksikan riuhnya acara tersebut.
Sudah setahun jenazah Belu Salurante, seorang bangsawan Toraja, menjadi penghuni Banua Barung-barung (bagian dari rumah orang Toraja). Tepat setahun setelah meninggal, seluruh keluarga besar dari Salurante
akan memestakan moyangnya ini dengan melaksanakan prosesi pesta pemakaman atau Rambu Solok.
Menurut orang Toraja, orang yang sudah meninggal dianggap masih sakit. Oleh karena itu jenazahnya disimpan di dalam ruang tengah rumah mereka. Jenazah itu masih dianggap sebagai bagian kelaurga yang masih
hidup. Ketika saat makan pun, ada bagian tersendiri untuk yang sudah meninggal ini.
Sebelum prosesi Rambu Solok dimulai, satu kerbau dipotong di halaman rumah terlebih dahulu. Jumlah dan kerumitan ukiran di permukaan kayo di Tongkonan melambangkan status pemiliknya. Bangsawan Toraja memiliki Tongkonan dengan pahatan bermotif seperti kerbau. Sedangkan kaum biasa Tongkonannya tidak berukir sebagai tanda penghormatan.
Peti jenazah Belu Salurante yang berukir sulur-sulur dan tutupnya dicat emas ini diikat erat oleh tali yang ditumpukan pada bambu bersilangan. Bambu ini berfungsi untuk membawa peti jenazah. Ada dua perempuan duduk dibambu tersebut dan memakai baju hitam. Badannya bergoyang ke kanan kiri ketika para lelaki warga Desa Tondon dan anggota keluarga Salurante beramai-ramai bergantian menggotongnya.
"Heyaaa heee, heyaaaa heee,' teriak para lelaki menyemangati din mereka sendiri. Jarak yang dilalui iring-iringan ini sekitar 5 km, memutar dari rumah Belu Salurante ke Tongkonan yang lain. Di belakang para lelaki, mengikuti orang tua dan ibu-ibu yang membawa kain panjang berwarna merah. Di sisi kanan kiri jalan, warga Desa Tondon menyambut clan memberikan penghormatan terakhir bagi bangsawan.
Peti jenazah tersebut lalu disimpan di dalam Tongkonan sebelum dimasukan ke dalam Lung-Bang (makam) keluarga di tebing timur desa. Dalam proses pemindahan peti ke makam tebing akan diadakan kembali pests penyembelihan kerbau.
Itulah ragam fungsi yang diemban oleh Tongkonan. Selain sebagai tempat berkumpul juga sebagai tempat penyimpanan sementara jenazah sebelum dibawa ke makam nun jauh di tebing sana. (Tabloid Rumah/Danu Primanto)